Melanogaster

.Selamat datang di Tulisan Puji.

Powered By Blogger

Senin, 28 Desember 2009

Nyamuk Transgenik

Nyamuk Transgenik

Rekayasa genetik melalui teknik transgenik telah lama digunakan pada hewan baik pada taraf penerapan maupun eksperimental. Tujuan utama dari pemanfaatan teknik transgenik adalah terjadinya perubahan fenotipik yang dapat bersifat menyeluruh maupun parsial. Dua aspek yang dapat diharapkan dalam pemanfaatan teknik transgenik adalah: (1) “perbaikan” kinerja atau produktivitas ternak/hewan secara lebih cepat dibandingkan teknik pemuliabiakan konvensional, (2) “introduksi” komponen keunggulan tertentu yang sama sekali baru.

Negara-negara tropis dan subtropis, termasuk Indonesia, masih direpotkan oleh penyakit malaria. Penyakit ini merupakan penyakit yang sudah lama dikenal, namun masih belum ada penanggulangan yang efektif sampai sekarang.

Dan cara baru yang tengah diteliti adalah dengan menggunakan nyamuk transgenik. Nyamuk dibuat sedemikian rupa sehingga nyamuk menjadi tahan terhadap parasit Plasmodium atau membunuh parasit tersebut di dalam tubuhnya. Teknologi ini lebih dimungkinkan lagi karena seluruh genom dari nyamuk A. gambiae dan parasit P. falciparum baru-baru ini berhasil dibaca (Nature 3/10/2002 dan Science 4/10/2002).

Seperti yang dilaporkan oleh grup yang dikepalai oleh Marcelo Jacobs-Lorena dari Case Wesrtern Reserve University, Amerika Serikat, mereka berhasil membuat nyamuk transgenik Anopheles stephensi, dimana di dalam usus nyamuk dimasukan gen dari peptida SM1 yang berfungsi membunuh nyamuk (Nature 23/5/2002). Dari hasil percobaan ditemukan bahwa gen yang dimasukkan stabil dan menghasilkan peptide SM1. Dan nyamuk transgenik ini mampu menekan pertumbuhan parasit P. berghei, parasit yang menyebabkan malaria pada tikus, sampai 94%.

Andrea Crisanti dan koleganya dari Imperial College London, Inggris juga membuat Anopheles stephensi transgenik dengan mamasukan gen dari elemen Minos (elemen yang bisa dipindahkan atau transposable element yang berasal dari lalat Drosphila hydei) ke dalam gen A. stephensi dengan menggunakan gen loncat (jumping gen) transposon (Science 21/2/2003 dan Nature 22/6/2000). Namun mereka baru menyelidiki kestabilan gen Minos yang dipindahkan dan efek pemindahan tersebut terhadap kehidupan nyamuk transgenik.

Selain itu, M. Q. Benedict dkk dari Centers for Disease Control and Preventation (CDC), Amerika Serikat, telah membuat A. gambiae transgenik dengan mamasukan gen dari transposable element piggyBac (elemen yang diisolasi dari sel serangga Trichoplusia ni) ke dalam gen A. gambiae dengan menggunakan transposon (Insect Molecular Biology no.10, 2001). Tetapi mereka juga baru pada tahap pengujian kestabilan gen yang dimasukan.

Penelitian nyamuk transgenik untuk pengontrolan malaria ini masih baru. Penelitian ini baru dimulai sejak tahun 2000, walaupun idenya sudah ada sejak 30 tahun yang lalu. Walaupun demikian, cara ini cukup memberikan harapan karena seperti yang dibuktikan oleh Marcelo Jacobs-Lorena dkk, mereka telah berhasil menciptakan A. stephensi yang bisa membunuh P. berghei.

Untuk mengatasi malaria yang masih menjadi momok dunia, para ilmuwan mengembangkan nyamuk antimalaria dengan teknik rekayasa genetika. Nyamuk transgenik yang memiliki daya tahan lebih tinggi ini diharapkan dapat menggeser populasi nyamuk liar yang membawa parasit malaria

Dr. Mauro Marrelli dan sejumlah koleganya dari Universitas Johns Hopkins di Maryland, AS menyisipkan sebuah gen ke tubuh nyamuk agar tidak terinfeksi parasit malaria. Mereka juga menyisipkan gen yang membuat mata nyamuk berpendar hijau untuk membedakannya dengan nyamuk asli.

Dalam percobaannya di laboratorium, nyamuk transgenik dan nyamuk liar dilepas dengan jumlah populasi yang sama ke kandang tikus yang terinfeksi parasit malaria. Setelah masa reproduksi hingga generasi kesembilan, nyamuk hasil rekayasa ternyata bertahan hidup lebih lama. Sekitar 70 persen total populasi adalah nyamuk yang matanya berpendar hijau ini.

Namun, jika dilepaskan ke kandang tikus yang sehat, populasi nyamuk transgenik dan yang bukan tetap seimbang. Padahal, agar berhasil diimplementasikan di alam, nyamuk transgenik harus tetap dominan dalam kondisi apapun. Lagipula, parasit malaria yang diuji coba Plasmodium berghei yang menyerang tikus, bukan parasit yang menyerang manusia.